Minggu, 01 Desember 2013

Tradisi Kritis Dalam Ilmu Komunikasi

Tradisi Kritis Dalam Ilmu Komunikasi Tradisi Kritis dalam komunikasi memang termasuk sulit untuk dikelompokan dalam satu varian teori. Wood (2004) mengelompokan dalam satu tema dengan judul critical communication theories yang meliputi teori feminis (feminist theory), teori kelompok bungkam (muted group theory), dan teori budaya (cultural theory). Little John dan Foss (2009) menempatkan tradisi kritis dalam komunikasi pada teori-teori tentang pelaku komunikasi, percakapan, kelompok, organisasi, media, dan budaya dan masyarakat. Tradisi Kritis memiliki keragaman (Little John dan Foss, 2009), di antaranya: Pertama, Tradisi Marx. Meskipun tradisi kriteklah muncul sejak Marx dan Friedrich Engels, marxisme merupakan cabang induk dari teori kritik. Merx mengajarkan bahwa cara-cara produksi dalam masyarakat menentukan sifat masyarakat. Oleh karena itu, ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Dalam system kapitalis, keuntungan mendorong produksi, suatu proses yang berakhir dengan menekan buruh atau pekerja. Hanya ketika pekerja menentang kelompok-kelompok dominan, cara-cara produksi dapat diubah dan kebebasan pekerja dapat dicapai. Kebebasan tersebut memajukan perkembangan sejarah secara alami. Ketika kekuatan-kekuatan oposisi bersinggungan dalam dialektik yang menghasilkan peringkat social yang lebih tinggi. Teori marxis klasik ini dinamakan the critique of political economy. Kedua, Frankfurt School adalah cabang yang kedua dari teori kritik dan faktanya sangat bertanggung jawab terhadap kemunculan istilah critical theory. Frankfurt school masih sering digambarkan sebagai persamaan dengan istilah teori kritik. Frankfurt school mengacu kepada kelompok filsuf Jerman, sosiolog dan ekonom Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse adalah diantara anggota-anggota yang paling terkenal-dihubungkan dengan institute fo Social Research yang didirikan di Frankfurt pada tahun 1923. Pengikut aliran ini percaya demi kebutuhan akan integrasi diantara kajian-khususnya filosofi, sosiologi, ekonomi dan sejarah – untuk mempromosikan filosofi social yang luas atau teori kritik yang mampu menawarkan pengujian yang komprehensif akan kontradiksi dan interkoneksi dalam masyarakat. Frankfurt School merupakan Marxis dalam inspirasinya; pertama, pengikutnya melihat kapitalisme sebagai tahap evolusi perkembangan sosialisme dan kemudia komunisme. Ketiga, Teori kritik berada dalam paradigma modernis. Yaitu tradisi yang dibangun atas sebuah asumsi melalui jawaban ilmu pengetahuan, bahwa agen individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek budaya yang Cuma-Cuma. Keempat, teori kritik yang dianggap melanggar modernitas dengan cara yang beragam. Di antaranya tradisi kritis dalam kelompok ini meliputi : Posmodernisme, dalam pengertian yang umum adalah perpecahan antara modernitas dan proyek pencerahan. Posmodernisme muncul pada akhir masyarakat industry dan munculnya jaman informasi. Produksi barang-barang dianggap oleh posmodernisme sebagai jalan untuk memproduksi dan memanipulasi pengetahuan. Dimulai pada tahun 1970-an menolak elitism, puritanisme, dan sterelisitas’ rasional karena pluralism, relativitas, kebaruan (novelty) dan kontradiksi. Tokoh-tokohnya Jean-Francois Lyotard dst. Cultural Studies adalah sebuah tradisi kritik yang dihubungkan dengan ragam post-modernisme dalam tradisi kritik. Para teoretikus kajian budaya pada prinsipnya membahas tentang ideologi yang mendominasi sebuah budaya dengan mengkaji dampak terjadinya perubahan sosial dari sebuah ideologi yang dominan. Oleh karena itu kajian budaya bukan dalam definisi umum, tetapi budaya dalam arti “politis” dan kekuasaan yang kuat atas yang lemah. Postrukturalisme, biasanya dianggap sebagai bagian dari proyek pos-modern karena pos-strukturalisme mengolah usaha modern dalam menemukan kebenaran-kebenaran universal, naratif, metode, dan makna yang digunakan untuk mengenal dunia. Tokoh-tokohnya di antaranya: Jaques Derrida tahun 1966. Post-kolonialisme, dengan kata kuncinya bahwa semua kebudayaan dipengaruhi oleh proses kekaisaran dari era kolonialisasi sampai saat ini”. Gagasan yang dikemukan oleh Edward Said (dalam Littlejohn and Foss, 2009) bahwa penjajahan menciptakan “kebedaan”. Penjajahan menciptakan stereotip pada populasi kelas tertentu dan warna kulit tertentu. Para tereotikus pos-kolonial mengkaji isu-isu sebagaimana yang dikaji oleh kajian budaya dan kritik, ras, kelas, dan gender, dan seksualitas tetapi semua distuasikan dalam susunan geopolitik dari hubungan Negara-negara serta sejarah antar Negara mereka. Kajian Feminis. Kajian feminis tidak sekedar menawarkan kajian gender. Feminis berusaha menawarkan teori-teori yang memusatkan pada pengalaman perempuan dan untuk membicarakan kategori-kategori gender dan sosial lainnya, termasuk ras, etnis, kelas, dan seksualitas. Kajian feminis dalam komunikasi misalnya bagaimana praktik komunikasi berfungsi menyebarkan ideologi-ideologi gender yang dimediasi oleh wacana. - See more at: http://nurazizahzakiyah.blogspot.com/2013/03/tradisi-kritis-dalam-ilmu-komunikasi.html#sthash.IKyWoopn.dpuf

0 komentar :

Posting Komentar